Bahasa Inggris di
Indonesia secara umum diajarkan sebagai bahasa asing. Istilah ‘bahasa asing’
dalam bidang pengajaran bahasa berbeda dengan ‘bahasa kedua’. Bahasa asing
adalah bahasa yang yang tidak digunakan sebagai alat komunikasi di negara
tertentu di mana bahasa tersebut diajarkan. Sementara bahasa kedua adalah
bahasa yang bukan bahasa utama namun menjadi salah satu bahasa yang digunakan
secara umum di suatu negara.
Sebagai contoh, bahasa
Inggris di Singapura adalah bahasa kedua. Media massa, komunikasi, dan
pembicaraan di negara tersebut kerap menggunakan bahasa Inggris.
Sementara Bahasa asing
biasanya diajarkan sebagai salah satu mata pelajaran di sekolah dengan tujuan
berkomunikasi dasar serta menguasai 4 skill berbahasa (menyimak, membaca,
menulis, berbicara) dalam bahasa tersebut dalam batasan tertentu.
Di Indonesia, kebijakan
pengajaran Bahasa Inggris sebagai bahasa asing berubah seiring waktu dan
pergantian kebijakan yang kebanyakan dipengaruhi ekonomi dan politik.
Untuk lebih jelasnya,
mari kita pelajari sejarah Bahasa Inggris di Indonesia…
Jaman
Belanda
Pada masa peperangan
dengan Belanda, Bahasa Inggris diajarkan di MULO (Meer Uitgebreid Lager
Onderwijs) yang setara dengan SMP dan AMS (Algemeene Middlebare School) yang
setara dengan SMA.
Pada masa ini, selain
anak-anak Belanda, hanya orang-orang pribumi tertentu yang mampu dan diijinkan
bersekolah di MULO dan AMS. Sebagian besar anak pribumi biasa hanya sekolah
hingga tingkat yang setara SD saat sekarang.
Kondisi
ini turut mempengaruhi pengajaran Bahasa Inggris.
Dan jangan salah,
kondisi sekolah pada jaman Belanda ini konon sangat bagus. Guru-guru mendapat
gaji besar, material pengajaran mencukupi, dan sistem pengajaran dan ujian
sangat berkualitas. Wajar, karena sebagian besar yang sekolah hanyalah
orang-orang berduit, terpandang, atau anak orang Belanda.
Lulusan MULO biasanya
mampu berbahasa Inggris dengan sangat baik. Selain itu, mereka juga wajib menguasai
bahasa Belanda serta memilih pelajaran bahasa pilihan Prancis atau German,
serta bahasa lokal (Jawa/Melayu).
Namun membandingkan
kondisi pengajaran di sekolah pada jaman Belanda dan sekarang tidaklah adil,
karena saat itu, sekolah bersifat elit dan kemewahan adalah bagian dari
elitisitas tersebut.
Jaman
Jepang
Pada masa peperangan
dengan Jepang, kondisi sebaliknya terjadi. Bahasa Belanda, Inggris, dan bahasa
Eropa lainnya dilarang total digunakan di Indonesia. Semua buku yang berbahasa
tersebut dimusnahkan dan dibakar. Sedihnya, keputusan pembakaran buku ini
berdampak hingga saat ini, di mana sangat sedikit referensi sejarah yang bangsa
Indonesia miliki tentang negerinya sendiri.
Sisi lainnya, Jepang
merubah secara radikal sistem pendidikan, dari elitis menjadi egalitarian.
Semua orang harus sekolah.
Selain itu, bahasa
Jepang diajarkan secara intensif dan bahkan ditargetkan menjadi ‘bahasa kedua’
di Indonesia. Ditambah, pada masa Jepang ini lah banyak buku-buku asing yang
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Jaman
Kemerdekaan
Bahasa Inggris secara
resmi diajarkan sebagai bahasa asing di sekolah-sekolah Indonesia seiring
dengan keputusan Mentri Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 1967.
Sejak saat itu,
perubahan menteri, kurikulum, keadaan politik, ekonomi dan perkembangan ilmu
pendidikan, terus mewarnai perkembangan pengajaran Bahasa Inggris sebagai
bahasa asing di Indonesia.
Mulai dari sistem
pengajaran di mana siswa diwajibkan menghapal sekian ratus kata dan artinya
dalam waktu tertentu, menguasai grammar, lalu berubah ke orientasi bahasa Inggris
untuk komunikasi, sampai ke isu pengajaran bahasa Inggris untuk anak-anak saat
ini.
Yang perlu menjadi
catatan adalah dana trilyunan rupiah yang dikeluarkan untuk menyelenggarakan
beragam pelatihan, seminar, peningkatan kualitas guru, perubahan kurikulum,
pengadaan fasilitas bahasa semacam laboratorium hingga kamus dan semacamnya.
Sebagian dari usaha ini membawa hasil positif, sebagian lainnya tidak jelas.
Mulai dari pendirian
model pelatihan ekperimental yang disebut Standard Training Course (STC) di Bukit
Tinggi dan Yogyakarta pada tahun 1950an (catatan penting: didanai oleh Ford
FOundation), lalu pendirian Perguruan Tinggi Pendidikan Guru di Malang yang
lalu berubah menjadi IKIP malang (sekarang Uiversitas Negeri Malang), hingga
kontroversi Sekolah Berstandar Internasional saat ini.
Masalahnya adalah,
konon sebagian besar dana yang digunakan untuk proyek-proyek pendidikan ini
berasal dari pinjaman luar negeri, dan tentu saja, harus dikembalikan.
Beberapa
catatan
Pada tahun 1960-an, ada
dua kementrian yang mengurusi masalah pendidikan di Indonesia, yaitu Menteri
Pendidikan Dasar dan Kebudayaan serta Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu
Pengetahuan. Celakanya, konon kedua pejabat tersebut saling berbeda pandangan,
yang satu cederung kiri yang lain cenderung nasionalis. Dan hal ini turut
mempengaruhi perkembangan pendidikan di Indonesia.
Kondisi politik 1960-an
di mana faham komunis berjaya, membuat sebagian besar tenaga pengajar asing
(khususnya dari negara barat) meninggalkan Indonesia, dan menciptakan kesenjangan
proses perkembangan pendidikan.
Kontroversi pengajaran
Bahasa Inggris di Sekolah Dasar. Sebagian pihak berpendapat mengajarkan bahasa
Inggris pada siswa SD akan sangat bagus bagi perkembangan anak ke depannya.
Namun di sisi lain, perbedaan kondisi sosial, ekonomi dan geo-politik
daerah-daerah di Indonesia, menciptakan perbedaan kualitas sekolah dan latar
belakang siswa, sehingga ada siswa-siswa yang jangankan berbahasa Inggris,
bahasa Indonesia dasar saja mereka belum menguasai secara baik.
Bahasa Inggris adalah
bisnis yang besar. Jutaan dolar mengalir ke negara produsen material pengajaran
Bahasa Inggris (USA, UK, Australia) dalam bentuk pembelian materi audio-visual,
buku, sumber daya manusia dan lain-lain.
Bantuan-bantuan dari
negara tersebut di atas dalam bentuk proyek pelatihan bahasa Inggris, beasiswa
dan sebagainya bukanlah ketulusan. Semakin banyak penguasa bahasa Inggris di
negara ini, semakin mudah penyebaran faham dan ideologi mereka. Ditambah,
hubungan ekonomi, politik, bisnis, akan lebih gampang jika dilakukan dalam
bahasa yang sama.
Masalah utamanya,
adalah; Siswa mempelajari bahasa Inggris di Indonesia tanpa tujuan yang jelas.
Untuk berkomunikasi? Untuk ke luar negeri? u