Kasus meninggalnya Risa seorang
anak perempuan berusia 11 tahun yang diduga korban kekerasan seksual adalah
kasus yang ke sekian kalinya. Menurut data yang dilaporkan kepada Komnas
Perlindungan Anak, pada Tahun 2011 ada 2.509 laporan kekerasan dan 59% nya
adalah kekerasan seksual. Dan pada tahun 2012 Komnas PA menerima 2.637 laporan
yang 62% nya kekerasan seksual (bbc,18/1).
Beberapa analisa penyebab kasus
kekerasan seksual anak dikemukan oleh anggota DPR Nova Riyanti Yusuf,
bahwa kemiskinan dan kepadatan penduduk
menjadi pemicu terjadinya kekerasan seksual pada anak. Hal itu dapat dilihat dari beberapa contoh
kasus bahwa pelaku kekerasan tersebut adalah orang-orang terdekat dengan korban
(bkkbn.go.id,11/1). Faktor pendidikan,
kurangnya pengawasan terhadap anak serta kemajuan teknologi turut menjadi
faktor pendukung tindakan itu. Pendapat senada diungkapkan Ketua Komnas
Perlindungan Anak, Seto Mulyadi yang menyatakan pertumbuhan jumlah penduduk
saat ini tak dibarengi dengan kesadaran akan pentingnya perlindungan terhadap
anak (radar Bogor, 15/1).
Kekerasan seksual pada anak
sesungguhnya adalah masalah yang diakibatkan oleh penerapan sistem hidup
sekuler oleh negara ini. Kejadian
tersebut tidak bisa dilepaskan dari nilai-nilai hidup yang salah yang telah
berkembang di masyarakat. Pelaku
kekerasan seksual pada anak yang mayoritasnya adalah orang dekat korban,
menggambarkan keadaan masyarakat yang sakit.
Kepadatan penduduk, kemiskinan, rendahnya pendidikan, kurangnya
perhatian orangtua kepada anak, adalah suatu kondisi yang tidak berdiri
sendiri. Semua merupakan buah dari pohon sistem kehidupan sekarang yaitu
demokrasi liberal.
Nilai kebebasan yang dikandung
sistem ini menjadi racun mematikan bagi akal dan naluri manusia. Hingga seorang
ayah kandung tega menggauli darah dagingnya sendiri. Membuat saudara kandung mengeluarkan hasrat
buruk terhadap saudaranya sendiri.
Ketika pemahaman agama tidak menjadi standar perilaku, maka hawa nafsu
menjadi penentu. Akibatnya, orang berlomba memenuhi kebutuhan jasmani sesuka
hatinya. Liberalisme telah menghilangkan ketakwaan individu.
Pada sisi lain, maraknya
kekerasan seksual pada anak menjadi gambaran betapa lemahnya jaminan keamanan
bagi anak-anak. Bahkan orang tua yang
seharusnya menjadi pelindung justru
menjadi sumber ancaman bagi anak-anak.
Hal ini menggambarkan bahwa keluarga tidak dapat menjalankan fungsinya
sebagai tempat yang aman bagi anak. Kondisi ini menjadi makin berat ketika
orangtua termasuk ibu sibuk bekerja. Kesibukan orang tua membuatnya lupa
mengawasi anaknya (Republika,15/1).
Bahkan Ketua Komnas PA, Arist Merdeka Sirait menyatakan maraknya kekerasan seksual
terhadap anak yang dilakukan oleh keluarga dekat, adalah indikasi dari keluarga
yang gagal. Oleh karena itu dibutuhkan
keluarga yang perhatian kepada anak dan keluarga ramah anak (VIVAnews, 13/1).
Namun saat ini, keluarga semacam
itu susah diwujudkan. Kemiskinan membuat
kaum ibu harus ikut bekerja mencari nafkah, sehingga mengabaikan perannya
sebagai pendidik anak. Sulitnya
kehidupan mengakibatkan tekanan psikologis pada orang tua, sehingga memicu
terjadinya kekerasan kepada anak.
Selain keluarga, lingkungan dan
Negara juga telah abai memberikan jaminan keamanan kepada anak-anak. Kehidupan
masyarakat yang saat ini diwarnai oleh kehidupan materialistis dan hedonis,
akan membentuk individu yang hanya mengutamakan terpenuhinya kebutuhan
jasmani. Bahkan Negara memfasilitasi hal
tersebut. Maraknya pornografi dan
pornoaksi menjadi bukti bagaimana syahwat dibiarkan menuntut pemuasan.
Rendahnya kontrol masyarakat juga membuat banyaknya kasus yang tidak
dilaporkan. Akibatnya para pelaku masih
bebas berkeliaran dan mengancam keselamatan anak (antaranews, 16/1).
Ringannya hukuman bagi pelaku
kekerasan seksual menjadi bukti tambahan lemahnya jaminan negara atas keamanan
anak. Hukuman masih tidak memberikan
efek jera. Pelaku tindak pencabulan anak
di bawah umur umumnya akan dijerat Pasal 81 dan 82 Undang-Undang Nomor 23 tahun
2002 tentang perlindungan anak, dengan hukuman antara 3 sampai 10 tahun
penjara. Sementara dalam KUHP, tindak
pemerkosaan diancam hukuman penjara maksimal 15 tahun penjara. Namun para hakim sangat jarang menjatuhkan
hukuman maksimal. Solidaritas Masyarakat Anti Kekerasan mengusulkan hukuman
bagi pelaku kekerasan seksual dihukum minimal 20 tahun penjara dan maksimal seumur
hidup (beritasatu,com, 17/1).
Semua itu adalah buah dari
sistem sekuler. Sistem yang membawa kerusakan pada masyarakat dan meruntuhkan
sendi-sendi kehidupan manusia. Sistem ini membuat manusia tidak lagi menjadi
mulia karena perilakunya seperti binatang. Oleh karena itu Sudah seharusnya
sistem rusak ini dibuang jauh-jauh dan digantikan dengan sistem Islam dalam
tatanan daulah Khilafah Islamiyyah.
Daulah khilafah membangun
masyarakat Islam diatas landasan keimanan, yang meyakini adanya hari
pembalasan. Negara menjadi ‘perisai’ yang melindungi seluruh warga negaranya,
termasuk anak-anak. Negara wajib menjaga
kebersihan pikiran dan lingkungan dari kemaksiatan. Islam juga menetapkan
hukuman berat bagi pelaku tindak kekerasan seksual apalagi kepada anak,
sehingga akan memberikan efek jera pada yang lain. Oleh karena itu, anak akan
terbebas dari kekerasan seksual ketika hidup dalam naungan Daulah Khilafah.
0 komentar:
Posting Komentar